Rabu, 02 November 2011

Dua Tangis dan Ribuan Tawa

Dahlan Iskan: Dua Tangis dan Ribuan Tawa

Minggu lalu genap enam bulan saya menjadi CEO PLN. Ada yang bilang "baru"
enam bulan. Ada yang bilang "sudah" enam bulan.

Betapa relatifnya waktu.

Selama enam bulan itu, saya dua kali sakit perut serius. Setengah hari saya
tidak bisa bekerja, kecuali hanya tidur lemas di bilik di belakang ruang
kerja Dirut PLN.
Sebenarnya, saya harus mewaspadai sakit perut seperti itu melebihi sakit
lainnya. Sebab, kata dokter, sakit perut merupakan tanda awal mulai
bermasalahnya transplantasi hati yang saya lakukan tiga tahun lalu. Mungkin
saja itu merupakan tanda awal bahwa "hati"nya orang lain yang sekarang saya
pakai ini mulai ditolak oleh sistem tubuh saya. Begitulah kata dokter.

Syukurlah, sakit perut itu cepat hilang tanpa saya harus minum obat. Saya
memang tidak boleh sembarangan minum obat, khawatir berbenturan dengan obat
transplan yang masih harus saya minum setiap hari.

Tiba-tiba saja, ketika hari sudah berubah siang, ketika rapat penting yang
telanjur dijadwalkan tersebut harus dimulai, sakit itu sembuh sendiri.

Selama enam bulan itu, seingat saya, belum pernah saya absen. Saya memang
sudah berjanji kepada diri sendiri: Selama enam bulan pertama sebagai Dirut
PLN, saya tidak akan mengurus apa pun kecuali listrik.

Tidak akan pergi ke mana pun kecuali urusan listrik. Tidak akan bicara apa
pun kecuali soal listrik. Karena itu, kalau biasanya dulu setiap bulan saya
bisa dua-tiga kali ke luar negeri, selama enam bulan di PLN ini, saya tidak
ke mana-mana.

Untuk itu, saya harus minta maaf kepada famili, teman dekat, dan pengurus
berbagai organisasi yang saya ketuai. Selama enam bulan tersebut, saya tidak
bisa menghadiri acara keluarga, pesta perkawinan teman-teman dekat, dan
bahkan selamatan boyongan rumah anak sendiri. Apalagi rapat-rapat organisasi
atau permintaan ceramah. Semua saya hindari.

Saya memang masih tercatat sebagai ketua umum persatuan perusahaan surat
kabar se-Indonesia, ketua umum persatuan barongsai Indonesia, persatuan
olahraga bridge Indonesia, dan banyak lagi. Selama enam bulan itu, tidak ada
rapat yang bisa saya hadiri.

Menjelang enam bulan di PLN, berat badan saya naik 3 kg! Oh, rupanya saya
kurang gerak. Hanya dari mobil ke ruang rapat. Dan dari ruang rapat ke
mobil. Siang dan malam. Itu tentu tidak baik.

Dokter yang tiga tahun lalu mentransplantasi hati saya melarang badan saya
terlalu gemuk. Dokter selalu mengingatkan, meski kelihatannya sehat, status
saya tetap saja sebagai orang sakit. Di samping harus terus minum obat, juga
harus tetap hati-hati. Karena itu, menginjak bulan keenam, saya putuskan
ini: berangkat kerja berjalan kaki saja.

Maka, setiap hari pukul 05.45 saya sudah berangkat kerja. Jalan kaki dari
rumah saya di dekat Pacific Place Semanggi, Jakarta, ke Kantor Pusat PLN di
Jalan Trunojoyo, seberang Mabes Polri itu. Berangkat sepagi itu bukan
supaya dianggap sok rajin, tapi ingin menghindari asap knalpot. Tidak ada
gunanya berolahraga sambil menghirup CO2.

Beruntung, rute menuju kantor tersebut bisa ditempuh dengan menghantas
jalan-jalan kecil yang sepi yang kiri-kanannya penuh pohon-pohon nan
merimbun. Pukul 06.30, ketika baru ada satu-dua mikrolet mengasapi jalanan,
saya (biasanya ditemani istri) tiba di kantor dengan keringat yang
bercucuran.

Hasilnya: selama satu bulan itu, berat badan sudah turun 2 kg. Masih punya
utang 1 kg lagi. Mula-mula, berjalan cepat selama 35 menit itu terasa berat.
Jarak rumah-kantor tersebut juga terasa sangat jauh. Tapi, kian lama menjadi
kian biasa. Bahkan, belakangan jarak itu terasa sedikit kurang jauh.

Betapa relatifnya jarak.

Enak juga sudah di kantor pagi-pagi. Kini, menjadi pemandangan biasa pada
pukul 07.00 sudah banyak orang Jepang yang antre di ruang tamu. Demikian
juga beberapa relasi PLN lainnya.

Bahkan, seorang perempuan yang merasa diperlakukan kejam oleh suaminya juga
tahu jadwal saya ini: Sebelum pukul 07.00, perempuan itu sudah menangis di
lobi untuk mengadukan kelakuan suaminya. Lalu, minta sangu untuk pulang
karena uangnya tinggal pas-pasan untuk datang ke PLN itu tanpa tahu harus
bagaimana pulangnya. Suaminya, katanya, sangat-amat pelitnya.

Betapa relatifnya uang.

Selama enam bulan itu, saya dua kali menangis. Sekali di ruang rapat dan
sekali di Komisi VII DPR RI. Kadang memang begitu sulit mencari jalan cepat
untuk mengatasi persoalan. Kadang sebuah batu terlalu sulit untuk
dipecahkan.

Tapi, tidak berarti hari-hari saya di PLN adalah hari-hari yang sedih.
Ribuan kali saya bisa tertawa lepas. Ruang rapat sering menjadi tempat
hiburan yang menyenangkan. Terutama ketika begitu banyak ide datang dari
para peserta rapat. Apalagi, sering juga ide tersebut dikemukakan dengan
jenakanya.

Di mana-mana, di berbagai forum, saya selalu membanggakan kualitas personal
PLN. Orang PLN itu rata-rata cerdas-cerdas: tahu semua persoalan yang
dihadapi perusahaan dan bahkan tahu juga bagaimana cara menyelesaikannya.
Yang tidak ada pada mereka adalah muara.

Begitu banyak Ide yang mengalir, tapi sedikit yang bisa mencapai muara.
Kalau toh ada, muara itu dangkal dan sempit. Ide-ide brilian macet dan
kandas. Kini, di ruang rapat tersebut, semua ide bisa mulai bermuara.
Bahkan, meminjam lagunya almarhum Gesang, bisa mengalir sampai jauh.

Memang, ruang rapat sebaiknya jangan penuh ketegangan. Orang-orang PLN itu
siang-malam sudah mengurus tegangan listrik. Jangan pula harus tegang di
ruang rapat. Ruang rapat harus jadi tempat apa saja: debat, baku ide,
berbagi kue, dan saling ejek dengan jenaka. Saya bangga ruang rapat PLN
bukan lagi sebuah tempat biasa, tapi bisa menjadi katalisator yang
menyenangkan.

Sebuah tempat memang bisa jadi apa saja bergantung yang mengisinya.

Betapa relatifnya tempat.

Sedih, senang, ketawa, menangis, semua bergantung suasana kejiwaan. Pemilik
jiwa sendirilah yang mampu menyetel suasana kejiwaan masing-masing. Mau
dibuat sedih atau mau dibuat gembira. Mau menangis atau tertawa. Semua bisa.

Betapa relatifnya jiwa.

Rasanya, selama enam bulan di PLN, saya juga belum pernah duduk di "kursi"
direktur utama. Saya sudah terbiasa bekerja tanpa meja. Puluhan tahun, sejak
sebelum di PLN. Setengah liar. Sebab, sebelum di PLN, saya hampir tidak
pernah membaca surat masuk.

Jadi, memang tidak diperlukan sebuah meja. Semua surat masuk langsung
didistribusikan ke staf yang bertugas di bidangnya. Sebab, kalaupun surat
itu ditujukan kepada saya, belum tentu saya bisa menyelesaikannya. Maka,
untuk apa harus mampir ke meja saya kalau bisa langsung tertuju kepada yang
lebih pas menjawabnya?

Kini, sebagai Dirut PLN, saya tidak boleh begitu. Saya harus menerima
surat-surat yang setumpuk itu untuk dibuatkan disposisinya. Inilah untuk
kali pertama dalam hidup saya harus membuat corat-coret di lembar disposisi.
Apa yang harus saya tulis di situ? Saran? Pendapat? Instruksi? Larangan?
Harapan? Atau, beberapa kata yang hanya bersifat basa-basi - sekadar untuk
menunjukkan bahwa saya atasan mereka?

Akhirnya, saya putuskan tidak menuliskan apa-apa. Kecuali beberapa hal yang
sangat jarang saja. "Mengapa" saya harus memberikan arahan seolah-olah hanya
saya yang "tahu" persoalan itu? Mengapa saya harus memberikan instruksi
seolah-olah tanpa instruksi itu mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat?
Mengapa saya harus memberikan petunjuk seolah-olah saya itu "pabrik
petunjuk"?

Maka, jangan heran kalau mayoritas lembar disposisi tersebut tidak ada
tulisannya. Paling hanya berisi paraf saya dan nama orang yang harus membaca
surat itu. Saya sangat yakin, tanpa disposisi satu kata pun, mereka tahu apa
yang terbaik yang harus dilakukan.

Bukankah karyawan PLN itu umumnya lulusan terbaik ranking 1 sampai 10 dari
universitas- universitas terbaik negeri ini ? Bukankah karyawan PLN itu,
doktornya saja sudah 20 orang dan masternya sudah 600 orang? Bukankah mereka
sudah sangat berpengalaman - melebihi saya?
Maka, saya tidak ragu memberikan kebebasan yang lebih kepada mereka.

Inilah sebuah proses lahirnya kemerdekaan ide. Orang yang terlalu sering
diberi arahan akan jadi bebek. Orang yang terlalu sering diberi instruksi
akan jadi besi. Orang yang terlalu sering diberi peringatan akan jadi
ketakutan. Orang yang terlalu sering diberi "pidato" kelak hanya bisa "minta
petunjuk".

Saya harus sadar bahwa mayoritas warga PLN adalah lulusan terbaik dari
universitas- universitas terbaik. Mereka sudah memiliki semuanya: kecuali
kemerdekaan ide itu. Kini saatnya barang yang mahal tersebut diberikan
kepada mereka. Saya sangat memercayai, jika seseorang diberi kepercayaan,
rasa tanggung jawabnya akan muncul. Kalau toh ada yang tidak seperti itu,
hanyalah pengecualian.
Semua itu saya lakukan di meja rapat. Bukan di meja kerja direktur utama.
Karena itu, saya juga tidak pernah memanggil staf, misalnya, untuk menghadap
duduk di kursi di depan direktur utama. Kalau saya lakukan itu, perasaan
saya tidak enak. Mungkin hanya perasaan saja sebenarnya.

Saya tidak tahu dari mana lahirnya perasaan tidak enak tersebut. Mungkin
karena dulu terlalu sering melihat Pak Harto di televisi dengan adegan
seperti itu. Saya takut merasa menjadi terlalu berkuasa di kantor ini.

Kedudukan tentu tidak sama dengan tempat duduk. Yang merasa berkuasa pun
belum tentu bisa menguasainya. Yang punya kedudukan belum tentu bisa duduk
semestinya.

Betapa relatifnya sebuah kekuasaan.

Lalu, apa yang sudah kita capai selama enam bulan ini?
Ada yang bilang sudah sangat banyak: menanggulangi pemadaman bergilir di
seluruh Indonesia, menyelesaikan IPP terkendala yang sudah begitu lama,
mengatasi kacaunya tegangan listrik di berbagai wilayah (orang Aceh, Cianjur
Selatan, Tangerang, dan banyak lagi kini sudah bisa mengucapkan selamat
tinggal tegangan 14! Sudah bertahun-tahun tegangan listrik di Aceh hanya 14,
sehingga sering redup dan merusak barang-barang elektronik. Kini, di Aceh
dan banyak wilayah itu, tegangan listriknya sudah normal, sudah bisa 20).

Tapi, banyak juga yang bilang, masih terlalu sedikit yang diperbuat. Bahkan,
ada yang bilang, termasuk seorang anggota DPR di komisi VI, bahwa direksi
PLN yang baru ternyata bisanya hanya menaikkan TDL. Tudingan tersebut tentu
lucu karena bukankah yang bisa menaikkan TDL itu hanya pemerintah bersama
DPR? Bukankah direksi PLN itu, sesuai UU, sama sekali tidak punya wewenang
menaikkan atau menurunkan TDL?

Betapa relatifnya kepuasan.

(Sebulan sekali, CEO PLN menulis surat kepada seluruh karyawan PLN. Inilah
cara Dahlan Iskan untuk memotivasi dan berkomunikasi langsung dengan seluruh
karyawannya. Surat itu diberi nama CEO's Note. Tujuannya, seluruh karyawan
PLN yang lebih dari 40.000 orang itu bisa langsung membaca jalan pikiran dan
keinginan pimpinan puncak perusahaan. Setiap kali CEO's Note terbit, banyak
tanggapan dari karyawan melalui forum e-mail perusahaan. Artikel ini adalah
CEO's Note edisi ke-6 bulan Juli 2010).

Alangkah baiknya kalau semua pemimpin bisa seperti ini, low profile, jadi
teladan bagi bawahan dan demokratis 
 
Tulisan ini saya ambil dari teman... yang penting bagaimana kita belajar dari seorang seperti Dahlan Iskan..

0 komentar:

Posting Komentar